Jangan Takut Menjadi Guru

Undang-Undang Guru dan Dosen mengajak kita percaya bahwa acara kualifikasi, sertifikasi, dan proteksi beberapa tunjangan untuk guru akan meningkatkan kualitas guru dan secara otomatis mendongkrak mutu pendidikan. Tentu kita tidak percaya sepenuhnya. Mengapa? Karena ada satu hal yang sering kali terluput dari diskursus ihwal rendahnya kualitas guru di Indonesia, yaitu soal birokratisasi profesi guru.

Birokratisasi profesi guru di zaman Orde Baru telah menghasilkan dominan guru bermental pegawai. Orientasi jabatan sangat kental menempel dalam diri para guru. Jabatan guru utama—sebagaimana layaknya guru besar di perguruan tinggi tinggi—tidak lagi dilihat sebagai tujuan puncak karier yang harus diraih seorang guru, melainkan lebih pada jabatan kepala sekolah atau jabatan-jabatan birokrasi lainnya di dinas-dinas pendidikan maupun di departemen pendidikan. Semangat profesionalismenya luntur seiring terjadinya disorientasi jabatan ini.

Birokratisasi juga membuat korelasi kerja "atasan-bawahan", yang lambat laun menghilangkan kesejatian profesi guru yang seharusnya merdeka untuk memilih aneka macam acara profesinya tanpa harus terbelenggu oleh juklak dan juknis (petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis) yang selama ini menjadi pecahan dari budaya para birokrat. Guru menjadi tidak kreatif, kaku, hanya berfungsi sebagai operator atau tukang dan takut melaksanakan aneka macam pembaruan.

Rasa takut itu pada alhasil semakin memperkokoh kekuasaan birokrasi dengan mengakibatkan guru sebagai pecahan dari pegawai-pegawai bawahan yang harus tunduk patuh pada perintah "atasan". Guru yang berani mengkritik, apalagi memprotes tindakan "atasan" yang tidak benar, dengan gampang diperlakukan diktatorial menyerupai diintimidasi, dimutasi, diturunkan pangkatnya atau bahkan dipecat dari pekerjaannya. Kasus mutasi Waldonah di Temanggung, perkara mutasi 10 guru di Kota Tangerang, perkara pemecatan Nurlela dan mutasi Isneti di Jakarta, serta beberapa perkara penindasan terhadap guru di aneka macam tempat memperlihatkan begitu kuatnya proses birokratisasi profesi guru hingga ketika ini.

Proses yang sama terjadi pula hingga ke dalam kelas. Dalam proses pembelajaran, guru lebih menempatkan diri sebagai agen- biro kekuasaan. Ia memerankan dirinya sebagai pentransfer nilai-nilai ideologi kekuasaan yang tidak mencerahkan kepada belum dewasa didiknya daripada membangun suasana pembelajaran yang demokratis dan terbuka. Anak didik dijadikan "bawahan-bawahan" gres yang harus tunduk dan patuh kepada guru sesuai juklak dan juknis atau atas nama kurikulum.

Kondisi ini semakin diperparah ketika proses birokratisasi ikut memasuki jejaring organisasi guru. Sebagian pengurusnya dikuasai oleh kalangan birokrasi. Akibatnya, organisasi yang diperlukan bisa membangun komunitas guru yang intelektual-transformatif dan melindungi gerakan pembaruan intelektual guru, justru jadi pecahan dari rezim birokrasi yang "mengebiri" kemerdekaan profesi guru.

Penunggalan organisasi guru menjadi pecahan dari acara penguatan kekuasaan birokrasi yang tak terlepas dari kepentingan politik kekuasaan yang lebih besar lagi. Bisa dibayangkan, guru menjadi tidak cerdas dan tumpul pemikirannya justru oleh ulah organisasinya sendiri. Sungguh ironis!

Debirokratisasi

Program kualifikasi, sertifikasi, dan proteksi tunjangan kesejahteraan kepada guru terperinci bukan balasan satu-satunya untuk membangun kualitas guru. Tanpa disertai gerakan debirokratisasi profesi guru, sulit rasanya kesejatian kualitas guru akan terbangun.

Oleh sebab itu, profesionalisme guru harus dibangun bersamaan dengan dorongan untuk membangun keberanian guru melibatkan diri dalam setiap pengambilan kebijakan pendidikan, bebas memberikan aneka macam pandangan profesinya, mengkritik, bebas berekspresi dan bebas berserikat sebagai wujud kemandirian profesinya. Bagaimana semua itu sanggup diwujudkan?

Beberapa pasal dalam UU Guru dan Dosen ternyata mengakibatkan debirokratisasi profesi guru sebagai pecahan penting dari upaya peningkatan kualitas guru. Pasal 14 Ayat 1 Butir (i) menyebutkan: Dalam menjalankan kiprah keprofesionalan, guru berhak memperoleh kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan.

Klausul ini mempertegas hak guru untuk terlibat dalam setiap pengambilan kebijakan pendidikan, mulai dari tingkat sekolah hingga penentuan kebijakan pendidikan di tingkat provinsi maupun pemerintahan pusat. Guru dilarang lagi ditempatkan sebagai bawahan yang hanya mendapatkan aneka macam kebijakan birokrasi, tetapi harus duduk bersama untuk merumuskan kebijakan yang partisipatif.

Pada pasal yang sama Butir (h) disebutkan: Guru berhak mempunyai kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi guru. Pasal ini diperkuat oleh Pasal 41 Ayat 1 yang menyebutkan bahwa: Guru sanggup membentuk organisasi profesi yang bersifat independen, juga Pasal 1 Butir (13) yang menyebutkan: Organisasi profesi guru ialah perkumpulan berbadan aturan yang didirikan dan diurus oleh guru untuk membuatkan profesionalitas guru.

Ketiga pasal ini mempertegas kemandirian guru untuk bebas berorganisasi dan melepaskan diri dari kepentingan kekuasaan birokrasi. Pasal 1 Butir (13) mempertegas bahwa siapa pun yang bukan guru tidak dibenarkan mendirikan dan mengurus organisasi guru, menyerupai yang selama ini banyak dilakukan oleh birokrasi atau bahkan para petualang politik.

UU Guru dan Dosen juga memperlihatkan proteksi aturan kepada guru dari tindakan diktatorial birokrasi, baik dalam bentuk bahaya maupun intimidasi atas kebebasan guru untuk memberikan pandangan profesinya, kebebasan berserikat/berorganisasi, keterlibatan dalam penentuan kebijakan pendidikan dan pembelaan hak-hak guru.

Pasal 39 Ayat 3 menegaskan bahwa guru menerima proteksi aturan dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi atau perlakuan tidak adil dari pihak birokrasi atau pihak lain. Ayat 4 pada pasal yang sama secara tegas memberi proteksi profesi kepada guru terhadap pembatasan dalam memberikan pandangan, pelecehan terhadap profesi dan terhadap pembatasan/pelarangan lain yang sanggup menghambat guru dalam melaksanakan tugas.

UU Guru dan Dosen cukup mendorong proses debirokratisasi profesi guru. Ruang kebebasan guru tanpa harus dibayangi ketakutan pada kekuasaan birokrasi sekarang mulai terbuka lebar. Birokrasi kekuasaan harus mendapatkan perubahan paradigma yang ditawarkan undang-undang ini. Guru harus berani menempati ruang tersebut. Karena itu, jangan pernah takut lagi untuk menjadi guru yang kreatif!

Komentar